Bagi mereka yang lebih duluan menonton filmnya
ketimbang membaca novelnya, kedai ini barangkali adalah pengejawantahan
paling wah dari fenomena Filosofi Kopi.
FILOSOFI Kopi yang ditulis Dewi Lestari memang hits.
Jadi ketika akhirnya kisahnya diangkat ke film, lalu menjelma jadi
nyata di kehidupan sehari-hari, rasanya wajar jika penggemar cerita
ini—terutama para penggemar baru yang lahir karena film
adaptasinya—menjadi begitu antusias lalu berbondong-bondong datang ke
kedai yang kini diusahakan oleh Rio Dewanto, Chicco Jerikho dan beberapa
pembuat filmnya ini.
Seperti para penggemar The Lord the Rings yang kegirangan
lalu segera tenggelam dalam imajinasi ketika mengunjungi set Hobbiton di
New Zealand, mungkin seperti itu jugalah sensasi yang dirasakan para
penggemar yang datang ke sini. Sebagian lagi, mungkin datang karena
kedai ini memang sedang hyped, ibaratnya kalau mau dicap anak gaul, nongkronglah di kedai ini. Lol. Sebagian kecil, seperti saya, barangkali datang karena benar-benar ingin menikmati kopinya. Saya lebih kepada penasaran sih sebenarnya. Seperti apa sih kopi di kedai yang disebut-sebut terpopuler di Jakarta ini.
Letak kedai ini, untuk orang yang tidak tinggal di Jakarta seperti Bernice (yang tukang ngurusin penjualan di Otten) dan saya, sebenarnya cukup tricky. Selain
karena tidak memiliki plang nama, bentuknya juga sedikit “tersembunyi”
di antara deretan toko dan ruko yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kopi. “Ini nggak sih tempatnya, Bernice?” tanya saya kepada Bernice yang juga sama ragu ketika itu. “Nggak tau. Keren ya tempatnya, tapi… ini nggak sih?”
ia balik bertanya pada saya. Lha mana eike tau. Dan jadilah kami
memutar dan berkeliling lagi sampai dua orang teman asli Jakarta yang
dengan mereka kami sudah janjian membawa lagi ke tempat tadi. Lhaaa?
Ketika datang, Kedai Filosofi Kopi terlihat begitu ramai. Ternyata—menurut mas Baristanya—sedang ada press conference film yang diproduseri Glenn Fredly di situ. Oh. Panteslah.
Saya melihat Glenn Fredly di belakang pintu sedang dikerumuni
wartawan-wartawan yang memegang perekam, sambil bercerita panjang lebar
mungkin tentang filmnya. Ketiga teman saya duduk menyempil di sudut yang
agak lowong, walau pun nggak ada spasi yang benar-benar lapang di dalam kedai itu. Sambil menunggu antrian, mata saya menyapu seluruh ruangan kedai.
Kedai Filosofi Kopi yang juga bekas tempat syuting filmnya ini terlihat cukup artsy. Kesan rustic bercampur
sedikit industrial segera menguar ketika pandangan saya menjelajahi isi
ruangannya. Sebagian besar furniturnya bergaya rusty, poster-poster
kontemporer—yang temanya masih tak jauh-jauh dari barista dan
kopi—menggantung di satu dinding, sementara di dinding seberangnya
sebuah poster besar dari film Filosofi Kopi dipajang sebagai signature wall.
Seperti peringatan yang sudah “diwanti-wanti” di depan pintu: “No WiFi”,
maka kalian pun tidak akan bisa mendapatkan internet gratis dari kedai
ini. Anehnya saya sedikit gembira menemukan ini karena memang sudah
jarang sekali saya lihat kedai kopi modern yang tidak menyediakan wifi.
Dugaan saya, mungkin peringatan itu mengandung filosofi, “jika datang ke
sini, ya nikmatilah waktumu selagi di sini. Talk to friends next to you and enjoy your coffee!”
Ketiga teman saya memesan kopi ketika rombongan para wartawan dan undangan press conference
tadi mulai beranjak satu-satu. Begitu pun, kedai ini masih saja tetap
ramai. Selalu saja ada orang yang datang dan kembali meriuhkan isi kedai
yang memang tak besar itu. Huh! Pantaslah kedai ini disebut sedang naik
daun di Jakarta.
Saya memesan 1 shot espresso sebagai asupan kafein pertama.
Rasanya nikmat sekali. Apapun yang dikandung espresso itu rasanya cukup
berhasil membuat saya yang hanya 70% sadar sejak tadi melek sepenuhnya.
Selanjutnya, berturut-turut pesanan kami datang. Cappuccino, latte dan kopi Tiwus.
Kopi Tiwus yang berasal dari Jawa Barat ini diseduh secara tubruk.
Teman saya mengundang untuk mencicipinya sedikit sambil promosi “ini
kopi paling enak di sini”. Setelah mengecapnya, agaknya teman itu benar.
Komposisi kopi ini pas, rasanya juga persis seperti yang dikatakan Jodi
kepada Ben dalam novelnya, “Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air
tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi
pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi
Tiwus…”
Saya makin menyetujui frasa itu setelah berikutnya memesan beberapa kopi manual brewed
lagi: Lestari dan, lagi-lagi, Tiwus. Lestari adalah kopi yang bijinya
berasal dari Bali Kintamani. Dugaan saya (lagi), barangkali Dewi Lestari
yang menyukai Bali adalah alasan mengapa namanya diangkat menjadi menu
kopi ini. Mungkin. Kopi Bali Kintamani a.k.a Lestari ini diseduh dengan
metode pour over, sementara Tiwus dengan syphon.
Keduanya, bagi saya, memiliki rasa yang cenderung lebih ringan ketimbang
tubruk Tiwus tadi. Kemungkinan besar ya karena diseduhnya secara
manual.
Well, Kedai Filosofi Kopi memang salah satu coffee shop yang wajib didatangi jika kalian adalah pecinta kopi—dan terutama jika kalian berasal dari luar Jakarta. Sekedar mencicipi kopi Ben’s Perfecto atau tubruk Tiwus yang di dalam filmnya disebut-sebut sebagai yang paling enak sedunia, atau paling tidak merasakan hype-nya lah. Kalau pun tidak terlalu suka kopi, menu minuman-minuman cantik semacam green tea latte, lychee tea atau red velvet bisa dijadikan pilihan.
P.S. Kalau beruntung, kalian akan bertemu “Ben dan Jodi” melayani kalian di meja bar. :p
0 komentar:
Post a Comment