Mahasiswa
ngopi, orang tua ngopi, tentara ngopi, pejabat ngopi, Semua ngopi.
Hampir semua bahan diobrolin di warung kopi, termasuk politik.
karena banyak keputusan dan hasil musyawarah yang keluar dari warung kopi. Apa sih yang gak dibahas di warung kopi?
Mulai dari
pejabat dengan mobil-mobil mewah terparkir di depan warung sampai
mahasiswa dengan motor-motor bebek terparkir di halaman belakang. Hal
yang dibicarakan juga beragam, dari soal politik negara yang carut
marut, harga bensin yang terus naik, tender proyek, sampai masalah
bagaimana mendapatkan hati sang gadis pujaan.
Tidak
terbatas dari yang muda hingga yang tua, miskin maupun kaya, semua
berbaur tanpa sekat-sekat pembatas. Bisa dikatakan, kopi ibarat nafas
bagi orang Aceh yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka
sejak zaman kesultanan Aceh.
Tradisi ngopi begitu populer dan digemari masyarakat Aceh.
Tradisi
minum kopi ini telah berkembang turun temurun seiring perkembangan Aceh
sebagai salah satu daerah produsen kopi kelas dunia. Sejak era kolonial
Belanda hingga sekarang,
Meskipun
zaman telah berubah, budaya minum kopi di tengah masyarakat Aceh tetap
terjaga. Tradisi ini tetap menurun hingga ke generasi muda mereka saat
ini. Yang membuatnya berbeda, saat ini kenyamanan dan fasilitas yang
ditawarkan pengelola ikut menentukan ramai tidaknya suatu kedai kopi di
Banda Aceh. Kini, tata ruang yang nyaman dan fasilitas internet hotspot
(wifi) gratis umumnya menarik lebih banyak kalangan muda untuk betah
berlama-lama di kedai kopi.
Masyarakat
Aceh tidak dapat dipisahkan dari kopi. Karena itulah, kedai kopi akan
banyak kita temui di berbagai pelosok negeri berjuluk Serambi Mekkah
ini. Baik siang maupun malam, berbagai lapisan masyarakat di Aceh
mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai minum kopi.
Ada kopi
hasil racikan sendiri yang beredar di warung kopi Aceh, ada juga kopi
instan. Kopi racikan sendiri ini yang membuat semua warung kopi punya
rasa yang berbeda. Biasanya biji kopi diambil dari daerah Takengon (Aceh
Tengah).
Rasa begitu
berpengaruh buat yang betul-betul penikmat warung kopi. Mereka tidak
akan mau masuk warung kopi yang mereka anggap rasanya main-main. Kalau
yang sudah pecinta kopi betul, dia bisa membedakan mana kopi yang keluar
dari saringan pertama, mana yang dari saringan terakhir.
Standar
harga kopi Kalau di kampung-kampung ada yang cuma seribu perak segelas.
Dengan uang segitu, orang bisa bebas duduk berjam-jam. Itu sama sekali
tidak dilarang oleh si pemilik warung kopi. Memang hampir semuanya
begitu. Malahan, kalau dia mau keluar sebentar dari warung kopi, tapi
masih mau balik, dia tinggal tutup mulut gelas dengan piring tatakan
gelas. Si pelayan tidak akan berani mengganggu gugat. Tapi ini berlaku
tidak di semua tempat, dibandingkan di kota-kota adalah lima ribu per
gelas.
Para pemilik warung kopi biasanya menambahkan fasilitas wifi dan TV layar lebar buat menarik pengunjung.
Bagi kami
anak muda Aceh, tiada sah satu hari itu berlalu tanpa disertai dengan
aktifitas nongkrong di warung kopi. Aktifitas ini bahkan bisa menyita
waktu sampai 3 kali sehari, yaitu pagi, siang, dan malam. Pagi hari pun,
sebelum memulai aktifitas baik itu kuliah ataupun pergi kerja, masih
disempat-sempatkan untuk singgah sebentar ke warung kopi. Hanya untuk
bisa merasakan hangatnya segelas kopi di pagi hari yang dingin.
Budaya
kumpul-kumpul itu yang sebenarnya menjadi inti dari budaya ngopi
masyarakat Aceh. Memang kualitas kopi tetap berpengaruh, tapi hal itu
sama sekali bukan satu-satunya indikator larisnya suatu warung kopi di
Aceh. Teman sewaktu minum kopi lah yang menjadi faktor kunci dari
kenikmatan menghabiskan waktu berjam-jam di warkop (istilah mereka). Tak
masalah mau di warung gubuk kecil, maupun di cafe sekelas
international, yang penting dengan siapa mereka menghabiskan waktu
bersama.
Fenomena ini
menunjukkan hal yang positif, setidaknya bagi saya. Dimana saya melihat
orang Aceh terbukti sangat senang bersilaturahmi, berkumpul dengan
sesamanya. Meskipun hanya untuk membicarakan omongan-omongan ringan yang
tak berbobot dan cenderung penuh khayalan ''cet langet'' istilah orang Aceh, atau kombur istilah orang Medan.
Fenomena ini
makin mempertegas makna ngopi dalam tradisi masyarakat di Aceh. Ngopi
atau aktivitas minum kopi merupakan media interaksi antar masyarakat
dari berbagai stratifikasi sosial. Di ruang publik ini berkumpul
masyarakat dari kelompok stratifikasi sosial terendah, sampai yang
tertinggi. Dari seorang tukang becak sampai seorang gubernur. Mereka
berkumpul diantara meja dan kursi, mendengar dan berbicara sambil
menghirup kopi.
Satu tradisi
unik yang terus dijalankan para pengelola warung kopi, yang itu Aceh
banget. Tiap adzan (tidak hanya Maghrib), pintu warung ditutup sebagian
sekitar 15 menit. Kalau ada yang mau pesan, disuruh tunggu dulu
sebentar. “Preh siat tengoh adzan” kata si pelayan yang artinya tunggu sebentar lagi adzan.
Berbangga
hatilah Aceh dimana Kopi Gayo, yang berasal dari dataran tinggi tanah
Gayo merupakan salah satu varietas kopi Arabika berkualitas tinggi.
Bahkan di disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia. Hal ini
yang menyebabkan kopi sangat identik dengan orang-orang Aceh. 7 dari 10
orang pria di Aceh adalah peminum kopi, walaupun bukan pecandu berat.
Belum lagi kalau kita berbicara mengenai warung kopi. Sebelum terjadinya
Tsunami saja warung kopi sudah menjamur di seluruh daerah Aceh, baik di
pelosok desa maupun di Kota besar khususnya Kota Banda Aceh.
0 komentar:
Post a Comment